Buya Syafii Maarif Menjadi Contoh Terbaik Bagi Pemuda Indonesia

Buya Syafii Maarif Menjadi Contoh Terbaik Bagi Pemuda Indonesia

  • Admin
  • Mei 27, 2022

Ahmad Syafii Maarif atau yang lebih akrab disapa Buya Syafii meninggal dunia pada Jumat, 27 Mei 2022 pukul 10:15 WIB di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta. Kabar tersebut disampaikan melalui Twitter oleh Presiden PP Muhammadiyah Haedar Nasir, dan ucapan belasungkawa pun langsung disampaikan di beberapa kalangan. Kata “Buya” masuk trending topic Indonesia sore ini.

Berita ini mengejutkan banyak orang. Meski pada 1 Maret lalu, Buya dirawat di rumah sakit karena serangan jantung ringan. Setelah menjalani pengobatan selama dua minggu, ia kembali ke rumah, namun pada 14 Mei, PKU Gamping kembali berobat karena sesak napas. 

Almarhum Buya Syafii salat di Masjid Agung Kauman Yogyakarta setelah Jumat. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Pemakaman Husnul Khotimah di Nanggulan, Kulonprogo.

Buya Syafii lahir pada tanggal 31 Mei 1935 di Kecamatan Sumpur Kudus Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Dari tahun 1998 hingga 2005, ketua PP Muhammadiyah meninggal dunia, meninggalkan istri dan putranya empat hari sebelum ulang tahunnya yang ke-87.

Ia memulai karirnya sebagai guru. Di tahun-tahun terakhirnya ia menerima banyak penghargaan: sarjana, tokoh Muslim, pemimpin dan guru negara. Buya Syafii Maarif menjadi satu-satunya tokoh masyarakat yang diangkat menjadi guru nasional sejak Gus Dur meninggal pada 2009. 

Gelar kehormatan bukan karena suatu alasan, tetapi karena sikap terhadap kehidupan mencerminkan kualitas-kualitas itu. Buya Syafii adalah contoh langka seorang pemimpin dan tokoh masyarakat yang teliti. Untuk memperingatinya, VICE telah mengumpulkan beberapa contoh Buya Syafii yang harus diikuti oleh anak muda Indonesia. Berdoa agar Buya Syafii meninggal dengan husnul khatimah dan diterima oleh Allah SWT.   

1. Menjaga toleransi dan kemanusiaan

“Kita boleh berbeda pendapat, tapi tidak setuju juga berarti menghormati orang lain,” kata Buya dalam diskusi Desember 2020. “Jangan sampai perbedaan agama saling menghancurkan.”

Dia percaya bahwa hanya ada satu syarat untuk perdamaian di bumi: toleransi. Hidup rukun bukan lagi mimpi yang utuh jika semua manusia bisa dengan anggun melihat perbedaan. ”Beda itu sunatula, keniscayaan, disahkan oleh hukum alam. Yang lain bukan hanya agama, tapi juga adat, bahasa, latar belakang dan lain-lain. Dan itu memperkaya kehidupan manusia,” kata Buya.

Pada tahun 2008, Buya Syafii menerima Ramon Magsaysay Award for Peace and International Understanding dari Ramon Magsaysay Award Foundation (RMAF). Presiden RMAF Carmencita T. Abella mengatakan, “Ahmad Syafii Maarif dianugerahi penghargaan ini atas dedikasi dan integritasnya dalam memimpin umat Islam untuk beriman dan menganut toleransi dan pluralisme sebagai dasar keadilan dan kerukunan di Indonesia dan dunia.” kata. Seperti dilansir Detik. Buya menanggapi hadiah prestisius ini dengan ‘biasa’ khas seorang ulama yang mengakhiri hidupnya.

Buya juga salah satu yang pertama mengunjungi Gereja Santa Lidwina Bedog Yogyakarta ketika orang-orang bersenjata menyerang gereja pada Februari 2018. Sebagai tokoh Muslim, Buya mengungkapkan keprihatinannya saat mengetahui pelakunya juga beragama Islam. Tiga orang percaya, seorang imam dan seorang polisi terluka dalam serangan itu.

Namun, Buya memutuskan untuk memperlakukan penyerang sebagai manusia. orang yang tidak diragukan lagi. Ia menjenguk dan berbincang dengan pelaku Suliyono yang dirawat di RS Bayangkara Yogyakarta setelah mengalami luka tembak di lutut. Jelas, Buya menganggap ada yang lebih penting daripada terus menerus memaki para pelaku. Artinya, memahami bahwa kelompok seperti Suliyono penuh dengan keputusasaan, kebingungan dan ketidakpastian dalam hidup.

Saat itu, Buya mengatakan, “Saya yakin anak ini adalah korban dan korban karena kebodohan dan ketidaktahuan menggunakan kekerasan dalam frasa yang dia mengerti.”

2. Demokrat Sejati

“Saya sering diganggu.”

“Ujaran kebencian terhadap saya itu keterlaluan, beberapa mengharapkan saya untuk segera mati, dan beberapa mengatakan saya sudah tua. Terutama dalam kasus ahawk. Saya dianggap pro-ahook. Meskipun saya tidak pro-Ahuk, saya hanya mengatakan bahwa Ahok tidak menghina Alquran, tidak menghina Ulama, dan tidak membela Ahok. Oleh karena itu, harus dibaca dengan seksama. Jangan dengarkan MUI,” kata Buya Syafii kepada Mojok pada 2019.

Dalam kasus kriminalisasi bicara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Buya Syafii termasuk ulama yang menilai Ahok tidak Sedan Menista Al-Qur’an maupun agama Islam. Sikap ini berkebalikan dengan sentimen utama publik maupun Majelis Ulama Indonesia. Kontan posisi disambut serbuan ketidaksukaan.

“Saya ingin Indonesia menjadi negara yang langgeng dan berbangsa, dan saya ingin mayoritas penduduk Muslim semakin waras. Jadi mayoritas tidak harus memiliki pola pikir minoritas. Mereka juga perlu diberdayakan secara ekonomi. ] Peran dalam bidang politik, meskipun umat Islam seperti ini: Islam resmi hanya satu karena Islam adalah sistem kepercayaan, tetapi Islam sebagai ekspresi politik dan budaya memiliki banyak. Dan ini adalah gejala dari Indonesia. Bukan hanya fenomena global, ini sudah puluhan tahun lalu,” ujarnya masih kepada Mojok.

“Bagi saya, Islam bukan tentang membangun orang barbar, ini tentang membangun peradaban.”

3. Contoh langka seorang pemimpin yang hidup sederhana

Buya Syafii tidak hidup sederhana, itu adalah simbol dari kesederhanaannya. Tersebar dengan foto-foto tanpa naskah yang sudah memukau kita. Naik KRL di sebelah orang yang sedang tidur, asyik makan di encore, menolak dijemput di kendaraan dinas, naik sepeda ke tempat seminar yang akan dia hadiri.

Kesederhanaan bukan tentang melakukan hal-hal sederhana, ini tentang membuat hal-hal sederhana menjadi sederhana tanpa membuatnya istimewa. Pada satu kesempatan, dia tertangkap basah tiba di bandara tanpa ada yang datang menjemputnya. Ketika seorang penumpang menyapanya dan bertanya mengapa tidak ada yang menyapanya, dia hanya menjawab, “Gampang. Dengan [taksi] ini untuk pulang”. Ini tidak rumit, itu sederhana.

Jawaban seperti itu sebenarnya bisa dimaklumi jika biasanya keluar dari mulut manusia. Tapi dia bukan manusia biasa dan pernah menjadi presiden salah satu ormas terbesar di Indonesia. Dia adalah penasihat presiden. “Kerendahan hati Buya Maarif menginspirasi saya. Dia tidak membiarkan saya merasakan gertakan/taipan yang saya beranikan. Karena Buya, saya lebih memilih pesawat kelas ekonomi karena alasan kesehatan, kecuali saat wabah,” tulis Alissa Wahid di Twitter.

Ada penjelasan untuk kesederhanaannya. Seperti yang diceritakannya kepada Beritagar, Buya Syafii putus sekolah karena uang saat remaja dan bahkan bekerja sebagai asisten toko sambil bersekolah untuk membayar biaya hidupnya. Ia menerima gelar master dari University of Ohio dan PhD dari University of Chicago dengan beasiswa.

Ketika kembali dari PhD-nya di Amerika Serikat pada tahun 1983, Buya Syafii, yang saat itu berusia 48 tahun, tidak kaya. Ia membeli rumah pertama yang ia tinggali hingga akhir hayatnya secara mencicil di Nogotirto, Sleman. Uang mukanya adalah hasil dari tabungan istrinya sebagai pengasuh di Amerika. Ini adalah gaya hidup orang yang sulit dengan sumber yang tidak pernah lepas.

Jadi kalau ada istilah dari zero to hero, bagi Buya yang berubah adalah jenjang karir, bukan cara hidup.

4. Hormati wanita

Buya Syafii menunjukkan penolakannya terhadap poligami dalam otobiografinya, Poin Kisar dalam Perjalananku (2006). Ibu kandung Buya adalah istri pertama dari tiga beristri.

Dalam beberapa pernyataan pribadi dan kesaksian orang lain, Buya Syafii digambarkan sangat menghormati istrinya. Buya biasa melakukan pekerjaan rumah bahkan di usia tuanya. Para tamu masih melihatnya menjemur pakaian di halaman. Saya juga berbelanja di pasar dan memasak dengan baik.

Kesaksian perlakuan Buya terhadap istrinya dapat dilihat dalam buku Ibu Kemanusiaan: Catatan Seorang Wanita untuk Buya Ahmad Syafii Maarif (2021), yang dipersembahkan oleh seorang rekan pada ulang tahunnya yang ke-86 tahun lalu.

Dua tahun lalu, Abd Rohim Ghazali, direktur pelaksana Maarif Institute, mengutip kisah istri dan anak Buya Syafii dari buku “Cermin Untuk Semua, Ahmad Syafii Maarif”, Renungan Tujuh Puluh Tahun (2005). suasana rumah mereka. Putra Buya, Muhammad Hafiz, mengatakan, sebelumnya keluarganya telah melakukan diskusi demokratis. Karena ayah, ibu dan anak memiliki hak suara yang sama. Sementara itu, Nurkhalifah, istri Buya atau yang lebih akrab disapa Bu Lip, mengatakan Buya tidak pernah memaksakan kehendak pribadinya.

Ketika Taliban menguasai pemerintah Afghanistan tahun lalu, Buya Syafii enggan merayakan pencapaian Taliban, termasuk kekerasan terhadap perempuan. “Pengalaman [Taliban, dari tahun 1996 hingga 2001] keras dan sangat buruk. Anak perempuan tidak diizinkan keluar rumah, tidak diizinkan sekolah, pembunuhan, genosida, dan itu sangat tidak rasional. , ” ujarnya kepada Media Indonesia. 

5. Konsekuen

Rekan-rekannya menyebut Buya Syafii sebagai pejalan di atas kudanya dan kepercayaan yang dimilikinya. Untuk menggambarkan karakter Buya, penulis esai Zen RS yang pernah menjadi mahasiswa memberikan contoh menarik.

Antara 2001 dan 2002, Buya Syafii sudah menjadi ketua PP Muhammadiyah, tetapi masih mengajar sarjana sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta. Selama waktu itu, suatu hari di kelas, “Prof. Syafi’i mengeluarkan setumpuk kertas mahasiswa dari tasnya,” tulis Zen.

“Dia menunjukkan kepada saya coretan yang dia buat di beberapa kertas. Ia melanjutkan, “Saya pergi ke Amerika minggu lalu. Saya memeriksa surat-surat Anda di pesawat. Jadi tolong, jangan buang waktu saya menulis tesis yang buruk,” kenangnya dalam esai Tirto.

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *